Oleh : Shaff Ra Alisyahbana Dt Malako
Ranah Nata adalah ranah yang makmur dan subur bila
dipandang dari sudut keamanan dan pertanian.
Ranah pertanian yang begitu luas terbentang bagaikan
hamparan permadani di padang sahara Madinah,
bukan seperti Madinanya Sumatera Utara.
Dari sudut kesenian dan kebudayaan,
Ranah Nata mempunyai perbendaharaan,
tapi tak swe rancak Ranah Minang
di Sumatera Barat.
Walaupun disana sini bergelimpangan para perusahaan
yang membuka usahanya menyawitkan lahan pertanian
dan mata pencaharian penduduk,namum masih
banyak menyimpan ratusan orang pengangguran,
sebab perusahaan membawa dan menerima para
karyawan yang bukan dari putra putri daerah
tempat di berpijak ditanah perkosaan.
Tetapi, yang dimaksud penulis dalam sebutan
Pengangguran disini bukanlah dari segi pekerjaan
semata,tapi adalah dari segi keagamaan dimana
Ranah Nata mempunyai pengangguran
ribuan orang yaitu Pengangguran Shalat.
Bila pada hari Jum’at dijaman Sampan Kayie, para
nelayan dan petani tidak pergi mengharungi lautan untuk
bertarung dengan hujan badai dan hempasan ombak
gelombang dan berjalan diantara embun rerumputan
menantang matahari sehingga mereka ikut serta dalam
kegiatan shalat berjama’ah yaitu Shalat Jum’at.
Setelah memasuki zaman pincang dan gigih (canggih),
sedang berkumandang adzan Jum’at, mereka masih bisa
pergi melaut kartena dipacu oleh krisis menyeluruh ( Kisruh ) ,
baik krisis ekonomi, krisis moral dan krisis iman,
sehingga pantai keimanan itu kini telah landai,
hilang dari kecuraman beribadah dalam ranah
berterima kasih kepada Allah yang Maha Esa.
Disebabkan zaman dahulu pergi melaut itu memakai
sistem waktu sehingga orang-orangnyapun mengenal waktu,
karena mereka berfikir bahwa binatang dan tumbuhan
saja mengenal waktu, apalagi kita manusia tentu
lebih mengenal waktu lagi.
Mereka menjadikan alam terkembang menjadi gurunya,
dimana setiap Shubuh para kelelawar sudah mengingat
waktu shalat shubuh, mereka memperhatikan bunga
rambas/oyong yang tetap kembang setelah masuknya
waktu Ashar dan begitu juga kicauan burung Cancebo
menandakan masuk waktu Maghrib dengan
menukik- nukikkan namanya dari ruang angkasa
sana kepada kita manusia.
Penulis berpendapat bahwa dalam rangka menanggulangi
banyaknya pengangguran Shalat di Ranah Nata khususnya
adalah dengan mengaktifkan seluruh Masjid, Surau atau
Mushalla untuk melaksanakan kegiatan Shalat Jum’at dan
kembali menerapkan hari Jum’at adalah hari liburnya
para petani dan nelayan, sebab dua pekerjaan itulah yang menghidupi
Masyarakat Ranah Nata ini khususnya,
sedangkan profil lainnya adalah di ranah pengaturan
yaitu mengatur menu dan perbelanjaan makanan
dan minuman, walaupun sebagian mengadakan
penyusutan ukuran dan
timbangan, memgatur lalu lintas pendidikan, kesejahteraan,
maslahat ummat bagi pegawai negeri
yang sebagian adalah koruptor waktu dan uang.
Sebelum mengaktifkan seluruh Masjid dan Surau bershalat
Jama’ah Jum’at, terlebih dahulu mengadakan pelatihan
Khatib,Imam,Bilal dan Ahli Tajwid ( KIBLAT ),
karena Ranah Nata juga mengalami Krisis Kiblat.
Masa sekarang adalah masa kelangkaan Khatib, Imam,
Bilal dan Ahli Tajwid sebagaimana kita saksikan
dalam shalat berjama’ah di masjid-masjid.
Ada Khatib yang hanya membincang luar negeri dalam
khutbahnya atau mengkaji zikrullah dalam bernafas oleh
khatib penceramah antara shalat Maghrib dengan shalat Isya
dan sesudah shalat Shubuh dalam kegiatan Kultum
(Kuliah Tujuhmenit),Kulibas (Kuliah Limabelasmenit )
dan Kultajam (Kuliah Satujam).
Demikian juga Imam dalam shalat berjama’ah
tidak memperhitungkan
jama’ahnya yang sudah tak sanggup berdiri dengan
membaca ayat-ayat panjang, ada yang membaca
ayat dengan irama kesenian daerah Ranah Nata dan
setidaknya dengan irama tahrim atau tarhim, ditambah
dengan makhraj huruf yang sampai merobah makna
dari al-Qur”an tersebut.
Bagaimanakah pendapat anda bila seorang Imam
membaca Rabbil ‘alamien dengan Rabbi alamien ?
iyyakana’budu waiyya kanasta’in menjadi
iyya kanakbudu wa iyya kanastain ?
bagaimana pendapat anda bila seorang Imam
membaca Al-Fatihah dengan irama Sagu Jao ?
Sang Bilal juga tidak ketinggalan dimana para Bilal yang
bersuara indah dan merdu tak kedengaran lagi suaranya
melalui adzan, tetapi diisi oleh muadzin yang bersuara fals,
yang menukik seperti kesenian dikir rebbana dan ada
juga bagai perian pecah.
Demikian juga Ahli Tajwid yaitu Qari dan Qori’ah dimana
ketika ada kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur”an (MTQ),
pihak yang berkepentingan hanya mencari siapa yang
pandai berlagu dan bersuara indah,
tapi bukan pandai bertajwid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar